Isuenasional, Yogyakarta – Delapan dekade setelah Perang Dunia II usai, dunia masih dihantui bayang-bayang konflik. Pertanyaan klasik—damai atau perang, dialog atau konfrontasi, kembali relevan. Namun, tantangan abad ke-21 menuntut lebih dari sekadar pilihan biner.
Abstrak
Artikel ini merefleksikan pernyataan Presiden Xi Jinping pada peringatan 80 tahun kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, yang mengajukan pertanyaan mendasar: dialog atau konfrontasi, damai atau perang. Tulisan ini berargumen bahwa dikotomi semacam itu tidak memadai untuk memahami kompleksitas krisis global kontemporer. Dengan melampaui dualisme, artikel ini menekankan pentingnya konfrontasi moral terhadap ketidakadilan sekaligus dialog kreatif untuk keberlanjutan hidup bersama. Pada akhirnya, tantangan abad ke-21 bukanlah sekadar memilih antara dialog atau konfrontasi, melainkan merumuskan horizon baru berupa takdir bersama, solidaritas global, dan kesadaran ekologis.
Kata Kunci: krisis global, dialog, konfrontasi, melampaui dualisme, solidaritas, kesadaran ekologis.
Kutipan Presiden Xi Jinping pada parade peringatan 80 tahun kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II kembali menggemakan pertanyaan purba umat manusia: damai atau perang? dialog atau konfrontasi? kerja sama saling menguntungkan atau permainan zero-sum? Pertanyaan ini bukan sekadar retorika politik, melainkan cermin atas krisis kesadaran global yang kita hadapi hari ini.
Warisan Perang, Bayang-Bayang Masa Depan
Delapan dekade setelah dunia terbebas dari fasisme, kita masih menyaksikan luka yang belum sembuh. Invasi, perang proksi, kompetisi senjata, dan ketegangan geopolitik baru menandakan bahwa memori sejarah belum cukup menjadi vaksin bagi ambisi kekuasaan. Dunia berada di persimpangan yang sama: apakah kita akan mengulangi lingkaran kehancuran, atau melampaui trauma masa lalu menuju tatanan baru yang lebih beradab?
Melampaui Dualitas: Dialog dan Konfrontasi
Persoalan global hari ini terlalu kompleks untuk dijawab dengan dikotomi biner. Dialog tanpa keberanian menghadapi realitas sering menjadi retorika kosong; konfrontasi tanpa visi melahirkan spiral destruksi. Yang diperlukan adalah sintesis baru: konfrontasi terhadap ketidakadilan sekaligus dialog demi keberlanjutan hidup bersama.
Dengan kata lain, melampaui dualitas berarti berani mengakui bahwa damai bukan berarti pasif, dan konfrontasi tidak selalu identik dengan perang. Ada ruang bagi konfrontasi moral terhadap hegemoni, perlawanan terhadap kolonialisme gaya baru, dan kritik tajam terhadap ketidaksetaraan global, sembari membuka kanal dialog lintas bangsa, budaya, dan peradaban.
Krisis Kesadaran Global
Krisis terbesar umat manusia saat ini bukan hanya geopolitik atau ekonomi, melainkan krisis kesadaran kolektif. Pola pikir zero-sum, obsesi pada pertumbuhan tanpa batas, dan dominasi logika kekuasaan telah menjerat kita dalam jebakan eksistensial: kehancuran lingkungan, ketidakadilan struktural, dan hilangnya nilai kemanusiaan.
Di sinilah titik kritisnya: apakah kita sanggup membangun kesadaran baru yang melampaui ego bangsa dan kepentingan sempit? Atau justru kita akan terjerumus kembali ke logika perang yang sama dengan abad lalu?
Menuju Tatanan Baru: Dari Kompetisi ke Ko-Eksistensi
Melampaui dualitas berarti berani memikirkan ulang relasi internasional bukan sebagai zero-sum game, melainkan shared destiny. Dunia yang saling terhubung oleh krisis iklim, teknologi digital, dan mobilitas manusia tidak lagi bisa bertahan dengan logika blok. Kita memerlukan imajinasi politik baru:
Diplomasi yang tidak sekadar transaksi, tetapi transformasi.
Ekonomi yang tidak lagi berorientasi pada dominasi, melainkan distribusi.
Dialog antarperadaban yang tidak berhenti pada toleransi, melainkan kolaborasi kreatif.
Pertaruhan Abad ke-21
Sejarah mengajarkan bahwa perang lahir dari kegagalan imajinasi politik. Hari ini, pilihan global bukan hanya antara dialog atau konfrontasi, tetapi antara kesadaran baru atau kejatuhan kolektif. Jika dunia gagal melampaui dualitas lama, maka peradaban bisa tergelincir ke jurang yang lebih gelap daripada yang pernah dikenal manusia.
Pertanyaannya bukan lagi apakah kita siap berdialog atau berkonfrontasi, melainkan apakah kita sanggup menemukan horizon ketiga, sebuah jalan yang menggabungkan keberanian moral, solidaritas global, dan kesadaran ekologis.
Karena pada akhirnya, masa depan umat manusia tidak akan ditentukan oleh siapa yang menang dalam perang berikutnya, tetapi oleh keberanian kita untuk tidak mengulanginya lagi.
Penulis : Agus Budi Rachmanto, M.Sc
Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
Member of Asia Pacific Network of Science & Technology Centres (ASPAC)