Isuenasional.com, Jakarta – Indonesia tengah menikmati masa bonus demografi, dengan hampir 70 persen penduduknya berada di usia produktif. Kondisi ini bisa menjadi modal besar menuju Indonesia Emas 2045—asal dikelola dengan strategi pendidikan yang tepat.
Salah satu langkah strategis datang dari program Sekolah Siaga Kependudukan (SSK), yang mengintegrasikan pendidikan dengan kesadaran demografis sejak dini. Program ini digagas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Ditjen PAUD Dikdasmen bekerja sama dengan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga/BKKBN).
“Pendidikan dan kependudukan sering berjalan sendiri-sendiri, padahal keduanya memiliki tujuan yang sama: membangun manusia Indonesia yang beriman, sehat, cerdas, kuat, dan bertanggung jawab,” ujar Widyaprada Ahli Utama Ditjen PAUD Dikdasmen, Haris Iskandar, dalam Webinar Sekolah Siaga Kependudukan yang digelar Kemendukbangga, Jumat (31/10/2025).
Bonus Demografi: Peluang Sekaligus Tantangan
Meski memiliki populasi usia produktif yang tinggi, Indonesia masih menghadapi tantangan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia baru 9,22 tahun atau setara jenjang SMP. Sementara itu, produktivitas tenaga kerja masih rendah, sekitar USD14 per jam, jauh di bawah Singapura yang mencapai USD74 per jam.
“Dengan bahan dan metode yang sama, produktivitas kita baru seperlima dari negara tetangga. Ini menandakan pentingnya pendidikan yang tak hanya akademik, tapi juga membentuk kesadaran sosial dan tanggung jawab,” jelas Haris.
Laporan IMD World Competitiveness Ranking 2024 bahkan menempatkan daya saing Indonesia di peringkat 57 dari 60 negara, menunjukkan urgensi peningkatan kualitas SDM sejak dini.
Sekolah Siaga Kependudukan: Cara Baru Didik Generasi Cerdas
SSK bukan mata pelajaran baru, melainkan cara berpikir baru. Program ini menanamkan nilai dan realitas kependudukan ke dalam setiap mata pelajaran.
Contohnya, guru biologi membahas tanggung jawab reproduktif, guru ekonomi mengulas struktur penduduk dan dunia kerja, sedangkan guru bahasa Indonesia mengajak siswa menulis tentang migrasi atau pernikahan usia dini.
“Sekolah menjadi laboratorium pembelajaran nyata, tempat siswa mempraktikkan perilaku sadar kependudukan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Haris.
Kolaborasi Lintas Sektor, Bukan Sekadar Proyek
Keberhasilan SSK bergantung pada sinergi banyak pihak. Dinas pendidikan daerah berperan dalam pelatihan guru dan kebijakan, sedangkan BKKBN menyediakan data, materi, dan komunitas remaja seperti Genre dan PIK Remaja.
“Membangun kesadaran kependudukan bukan tugas BKKBN atau guru semata, tetapi gerakan bersama. Jika SSK dilihat sebagai gerakan kultural, bukan proyek, keberlanjutannya akan kuat,” tegasnya.
Saat ini, Kemendikdasmen bersama sembilan kementerian dan lembaga tengah menyusun peta kompetensi SSK dari jenjang PAUD hingga SMK, lengkap dengan learning progression, model pembelajaran interaktif, serta sistem monitoring berbasis data. Nantinya, hasil ini akan diatur dalam Surat Edaran Kepala BSKAP sebagai dasar hukum nasional implementasi SSK.
Investasi Jangka Panjang untuk Indonesia Emas
Haris menegaskan, kesadaran kependudukan di sekolah adalah investasi jangka panjang bagi bangsa. Dalam 10–15 tahun ke depan, generasi muda diharapkan mampu menunda pernikahan dini, memahami tanggung jawab reproduksi, membangun keluarga berkualitas, dan berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.
“Mari jadikan SSK bukan sekadar program, tapi gerakan nilai yang menumbuhkan generasi sadar, peduli, dan bertanggung jawab atas masa depan bangsa,” pungkas Haris.
Dengan sinergi pendidikan dan kependudukan, Sekolah Siaga Kependudukan menjadi langkah nyata menuju Indonesia Emas 2045—sebuah masa depan di mana generasi muda tumbuh cerdas, sehat, produktif, dan berdaya saing global.
Sumber: Info Publik

