Isuenasional, Makassar – Perkembangan internet dan kecerdasan buatan (AI) telah mengubah pola hidup dan perilaku digital masyarakat Indonesia secara signifikan. Aktivitas daring kini bukan sekadar pelengkap, melainkan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian.
Data terbaru menunjukkan, rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan waktu 7 jam 22 menit per hari untuk berselancar di dunia maya. Dari jumlah itu, sekitar 3 jam 8 menit digunakan untuk mengakses media sosial. Bahkan, 100 juta pengguna aktif TikTok tercatat menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam per hari atau 45 jam per bulan untuk menonton konten video pendek.
Hal ini disampaikan oleh Praktisi Komunikasi Good News From Indonesia (GNFI), Wahyu Aji, dalam diskusi Media Connect: Dari Clickbait Jadi Kredibel di Menara Bosowa, Makassar, Kamis (23/10/2025) malam.
“Media sosial kini menjadi sumber informasi utama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, menggantikan peran media konvensional,” ujar Wahyu.
Namun di tengah dominasi media sosial, Wahyu menyoroti hadirnya fenomena baru: kecerdasan buatan (AI) yang mampu menghasilkan konten seolah-olah dibuat oleh manusia. Ia menyebut bahwa Indonesia mencatat tingkat adopsi AI tertinggi di Asia Tenggara, mencapai 42 persen, dengan 92 persen pekerja intelektual sudah memanfaatkan AI dalam pekerjaannya.
Meski begitu, dari sisi kesiapan menghadapi era AI, Indonesia masih berada di posisi keempat di kawasan ASEAN — di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya tingkat literasi digital masyarakat.
“Hanya 29 persen warga Indonesia yang memiliki kemampuan literasi digital dalam kategori baik,” ungkap Wahyu.
Lebih lanjut, 52 persen masyarakat Indonesia mengaku tidak tahu apakah konten yang mereka lihat di internet dibuat oleh manusia atau oleh AI. Fakta ini menegaskan bahwa kemampuan publik untuk mengenali dan memverifikasi informasi digital masih perlu ditingkatkan.
“Fenomena ini menjadi tantangan baru bagi ekosistem digital Indonesia — bagaimana memastikan masyarakat tidak hanya aktif dan kreatif di dunia digital, tetapi juga cerdas dan kritis dalam menggunakannya,” kata Wahyu.
Dalam paparannya, Wahyu juga memaparkan sejumlah tantangan komunikasi publik di era digital, di antaranya:
-
Berbicara tanpa berkomunikasi: Masyarakat banyak berbagi pesan, tapi sering gagal memahami satu sama lain.
-
Overload informasi dan misinformasi: Banjir konten membuat publik sulit membedakan informasi kredibel.
-
Digital divide dan inklusivitas: Tidak semua orang memiliki akses dan literasi digital yang memadai.
-
Hilangnya kepekaan nonverbal: Komunikasi digital cenderung miskin ekspresi dan mudah disalahartikan.
-
Fragmentasi ruang digital: Munculnya “echo chamber” yang membuat masyarakat terjebak dalam perspektif terbatas.
-
Hambatan budaya organisasi: Banyak institusi yang masih kesulitan beradaptasi dengan gaya komunikasi digital yang cepat dan terbuka.
Wahyu menegaskan, semua pihak (termasuk media, pemerintah, dan masyarakat ) perlu berperan aktif menjaga ruang digital agar tetap sehat, informatif, dan penuh nilai.
“Era digital bukan hanya tentang siapa yang paling cepat menyebarkan informasi, tapi siapa yang paling bisa dipercaya,” tutupnya.
sumber: Infopublik.id

